Catatan Relawan Kelas Inspirasi

Hari itu saya bangun lebih awal, udara di luar  masih dingin, langit di Jayapura nampak masih abu abu. Tidak ada pilihan lain, saya harus sesegera mandi, dan bersiap diri.

Tiba-tiba ponsel saya bergetar memecah kesunyian, pertanda Mas Aga sudah ada di depan kosan menjemput saya. Mas Aga adalah salah satu relawan yang konsisten ikut di Kelas Inspirasi Jayapura, mulai dari awal berdirinya 4 tahun silam.

Kami pun berangkat menuju meeting point di Happap. Rupanya kami adalah relawan yang pertama datang sehingga kami mesti menunggu yang lain. Tak lama, kemudian datang lah Mba Dini dan Mas Chandra, mereka adalah relawan Panitia yang sedang PDKT-an, ah sudah lah saya tidak mau merusak esensi tulisan ini.

Disusul kedatangan Mas Douglas, relawan inspirator yang berprofesi sebagai guru dan dancer /penari. Hidung mancung, kulit gelap, dan rambut keriting, yap beliau satu satunya anak papua asli di tim kami.

Kami pun berangkat menuju ke TKP, setelah menunggu Mba Mila yang datangnya agak lama, sehingga kami putuskan bertemu di TKP saja. Oh iya, ada Kak Irfak juga yang sudah tiba duluan di TKP.

SD Inpres Tobati, ini adalah tujuan kami, sekolah dasar yang berdiri di pinggiran kota Jayapura. Untuk menempuh perjalanan kami menggunakan sepeda motor. Jalannya sangat sempit, mungkin sekitar 3-4 kilometer dari jalan raya besar. Jangan di tanya, medan perjalanannya berlikuk-likuk, kami beruntung karena tidak hujan, jadi tanah yang biasanya mudah berlumpur, hari itu aman dan kering.

Anak-anak di SD Tobati ini berasal dari pulau seberang, pulau Tobati dan pulau Enggros. Yah, setiap hari mereka menyeberang lautan untuk ke Sekolah, ada yang menumpang speedboat (mereka menyebutnya speadboat, perahu bermesin sederhana), ada juga yang naik sampan, dan beberapa ada yang jalan kaki menaiki jembatan yang masih belum selesai.

Teori-teori di kepala saya mulai runtuh, saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, keberanian anak perempuan umur 10 tahun membela lautan dengan sampan kecil, sendirian. Tidak ada lagi ketakutan di matanya, mungkin ini yang disebut Ippang dalam lagunya "melawan keterbatasan, walau sedikit kemungkinan". Pemandangan pagi yang membuat hati siapapun bergetar.

Kaki kaki kecil itu mulai berlarian menuju ruang kelas mereka. Ada yang mengenakan sepatu, ada yang hanya mengenakan sendal, warnanya pun bermacam-macam. Tubuh mereka dibungkus seragam kedodoran yang sepertinya sengaja dipersiapkan untuk beberapa tahun kedepan.

Karena hari itu Senin, kami pun berkumpul di halaman sekolah untuk upacara bendera. Upacara seadanya, yang khidmat, meski hanya dengan tiang bendera tipis yang pondasinya kurang kuat. Lagu Indonesia Raya pun dikumandangkan ketika bendera digerek, lengkap dengan khas dialek Papua yang menyebut huruf E dengan sedikit penekanan. Indonesia Raya Meerdeka Meerdeka...

Setelah upacara selesai, kamipun berdiri di depan, memperkenalkan diri satu per satu. Disambung dengan melakukan chicken dance untuk proses ice breaking, agar lebih mudah akrab dengan anak-anak. Mereka sangat antusias dengan kedatangan kami. Awalnya kami hanya berencana masuk ke kelas 4, 5, dan 6, namun karena antusias anak kelas satu sangat tinggi, kami pun, masuk ke semua kelas dengan konsekuensi kelasnya digabung.

Sayapun mulai masuk kelas, memperkenalkan diri, dan memperkenalkan profesi penyiar radio ke mereka. Kesempatan langka bisa berdiri di depan anak-anak SD, apalagi di titik timur Indonesia. Saya menanyakan cita-cita mereka satu per satu. Ada yang ingin jadi pemain bola, polisi, tentara, guru, perawat, wartawan, dan yang paling anti-mainstream ada anak kelas tiga yang bercita-cita jadi pejabat. Sedihnya, masih ada beberapa anak yang tidak punya cita-cita, seperti pendaki yang kehilangan kompasnya, hilang arah.

Inilah tugas saya, menghidupkan cita-cita mereka, bukan hanya memastikan mereka punya cita-cita. Akan tetapi, memberi gambaran, bagaimana mereka bisa meraih cita-cita mereka tanpa harus takut dengan kendala keterbatasan.

Sebagai relawan inspirator, saya bertugas untuk berbagi inspirasi, faktanya justru saya yang banyak dapat inspirasi dari mereka. Menemukan siswa kelas 5 dan 6 SD yang masih belum bisa baca, seolah-olah menampar-nampar hati saya, membuka mata saya lebar-lebar, saya dan pemuda pemudi negeri ini mengemban tanggung jawab yang besar. Kemana lulusan LPDP yang dibiayai negara itu mengabdi, kemana janji-janji kita sebagai awardee untuk membangun negeri ini.

Nasionalisme is not a word, it is an act. SD Tobati ini letaknya dekat sekali dari perkotaan kota Jayapura, and I can't imagine how about schools in rural which is near to the border, they must be much more struggle to get good education.

Tadinya saya mau kembali lagi mengajar di SD Tobati ini, mengingat kami sudah seperti saudara. Saya masih ingat, betapa anak-anak di sana tak henti memanggil-manggil nama saya dengan jelas "Kak Faiz....", seakan berharap, saya kembali lagi.

Faktanya, saya akan pindah ke Timika. Tuhan punya cerita lain untuk saya. 3 bulan di Jayapura memberi saya banyak pelajaran,  saya berharap bisa lebih banyak lagi berkontribusi di Timika nanti.

Sebuah catatan relawan, untuk Kelas Inspirasi Jayapura 4.


Posting Komentar

emo-but-icon

RECENT

POPULAR

COMMENT

INFO

RANDOM POST

item