Makassar : Brain Drain and High Collectivism

Sore itu saya berdiri di dalam sebuah gedung yang mengarah ke senayan, tepat di lantai 5. Sebuah gedung, tempat para pendidik dan calon pendidik seperti saya berlalu-lalang memperjuangkan nasib. Menunggu kepastian. Yah, memang terlalu banyak ketidakpastian di gedung itu.

Tiba-tiba handphone saya berdering, memecah keheningan di ruang tunggu. Nomor yang tampil di layar posel saya, sepertinya begitu asing. Awalannya 0778. Pikirku telepon dari luar negeri.

"Halo, selamat siang, kami dari Politeknik Negeri Batam, boleh wawancara sebentar?"

Suara seorang wanita yang menyapa begitu ramah. Yah, saya memang pernah memasukkan lamaran menjadi dosen di Politeknik Negeri Batam beberapa waktu silam. Namun, saya tidak menyangka akan ada prosesSingkat cerita, proses wawancara pun berlangsung.

"Jadi, bapak mengundurkan diri?"

Saya masih ragu menjawab pertanyaan itu. Bagaimana mungkin saya menolak tawaran kerja mentah-mentah. Rasanya butuh waktu memikirkannya. Akan tetapi, apa daya, saya dihadapkan pada situasi harus segera memilih maju atau mundur. Atau dengan kata lain, pindah menetap di Batam atau kembali membangun Makassar?

Pecundang macam apa saya, jikalau lebih memilih Batam daripada Makassar. Saya menghabiskan lebih dari 22 tahun umur saya di sana. Saya mengetahui seluk beluk, budaya, bahkan darah yang mengalir di tubuh saya.

Di sisi lain, apa yang saya bisa banggakan dari Makassar. Kota dengan angka kriminal yang tinggi. Pagi macet, Siang banjir, Malam penuh geng motor. Sudah cukup lama saya berkutat dengan itu semua. Muak. Apakah ini saatnya untuk pindah?



Brain Drain di Kota Makassar
Apa itu Brain Drain? Brain drain adalah kondisi dimana masyarakat berpendidikan memilih bermigrasi meninggalkan kota/daerah mereka untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, gaji yang lebih tinggi, keamanan kota yang lebih terjamin, serta alasan-alasan lain yang mendorong untuk pindah.

Fenomena Brain Drain ini yang saya lihat mulai terjadi di Kota Makassar dan ini sudah seharusnya menjadi perhatian. Betapa banyak mahasiswa Makassar yang memiliki potensi di atas rata-rata, lebih memilih melanjutkan kuliah di Pulau Jawa, lalu setelah menyelesaikan pendidikannya, mereka lebih memilih menetap di Pulau Jawa ketimbang harus balik ke Makassar. Hal lain, coba perhatikan di sekitar, tidak hanya mahasiswa, tenaga-tenaga ahli juga berimigrasi ke Kota lain. Efek buruknya, kita akan kehilangan tokoh-tokoh besar, yang justru bisa membawa perubahan.

Bukan mustahil, apa yang terjadi di Film BOMBE', akan benar benar terjadi suatu saat, dimana Makassar akan ditinggalkan oleh penduduknya sendiri. Kenapa? rasanya masalah hanya berputar di situ situ saja. Pagi, harus berkutat dengan macetnya jalanan sepanjang Urip Sumoharjo. Pada saat musim penghujan, jangan heran kalo ada genangan air di tengah kota, jalan Pettarani. Malam hari, geng motor dengan leluasa melakkukan kriminal, perampokan alfamart, menjambret, menodong, whatever. Mirisnya yang melakukan adalah siswa SMP dan SMA, ada juga anak oknum polisi yang pernah tertangkap. Edan. Itu baru berbicara 3 masalah di Kota Makassar, belum berbicara tentang demonstrasi, kebersihan, dan lain-lain. 

Sementara sibuk membahas itu semua, coba berandai-andai semua punya kesempatan memilih untuk pindah atau menetap di Makassar, tanpa memikirkan biaya. Seandainya, kita dihadapkan pada sebuah pilihan, terlahir di Makassar atau terlahir di Bandung, misalnya. Saya yakin, banyak di antara kita yang harus berpikir dua kali untuk memilih Makassar. Bandung menawarkan suasana yang sejuk, orang-orang yang ramah, dan lagi fasilitas begitu lengkap.

High Collectivism di Makassar
Menurut teori Hofstede tentang culture, ada 5 hal yang mempengaruhi culture di suatu kelompok masyarakat; power distance (kekuasaan), uncertainty avoidance (resiko), masculinity (gender), individualism (individu atau kelompok), dan Long-term perspective (jangka perspektif). Saya akan fokus membahas tentang Individualism versus Collectivism yang ada di tengah-tengah masyarakat. Saya menilai masyarakat kota Makassar bisa dikategorikan high collectivism, dengan bahasa lain, solidaritas tanpa batas.

Sayangnya, solidaritas sering disalahgunakan. Saya ambil contoh geng motor. Sebenarnya kejahatan yang dilakukan geng motor adalah bentuk evolusi kenakalan remaja era double millenium. Mungkin dulu, kenakalan-kenakalan remaja hanya berbentuk "curi mangga tetangga" atau "merokok di belakang kelas". Remaja yang melkukan kenakalan-kenakalan ini sering kali menganggap dirinya lebih keren, ketika melakukan hal tersebut. bentuk aktualisasi diri. Tidak ada rasa takut tentunya, karena kenakalan ini dilakukan berjamaah (colectivism). Syukurnya, semua betuk-bentuk kenakalan ini kemudian masih bisa ditolerir di masyarakat. 

Di era 2012 ke atas, kenakalan-kenakalan ini berubah bentuk. Mungkin dianggap kurang menantang atau terlalu ditolerir, sehingga remaja melakukan kenakalan yang lebih ekstrim, merampok minimarket contohnya. Mereka menganggap hal ini bukan bentuk kriminal, hanya sebatas kenakalan remaja yang dalam konteks masyarakat "bisa ditolerir". Ini yang kemudian salah, karena bagaimanapun kriminal tidak boleh ditolerir. Batas-batas ini yang menjadi kabur.

Saya shock beberapa waktu lalu, adik perempuan saya dirampok di jalan Abdullah Dg. Sirua. Dua tablet milik pribadi dan milik temannya dirampas, syukur laptopnya berhasil diselamatkan setelah adegan tarik menarik. Tangannya pun luka-luka. Uang senilai 2,5 juta yang ditaruh dalam tas, pun berhasil diselamatkan. Uang tersebut niatnya untuk beli handphone.

Tak hanya itu, beberapa hari lalu, ada teman saya yang update status. Tasnya yang di taruh ditengah (posisi berboncengan di atas motor) tiba tiba dijambret. Syukur talinya masih tercantel dileher, karena kejadian di jalan yang ramai, teman saya sempat teriak, dan sang penjambret pun kabur tanpa berhasil menjarah tas.

Kejahatan yang dilakukan secara berkelompok/kolektif tidak hanya di kelas kriminal. Korupsi dan pungutan liar di kantor-kantor, semunya dilakukan secara terstruktur, mulai dari yang kecil-kecilan sampai yang kelas miliaran. Hal ini pun turun temurun dan dianggap biasa (ditolerir). 

Solidaritas bentuk lain bisa dilihat pada saat demo. Saya punya teman di salah satu kampus swasta di Makassar, beliau sering ikut demo, dan alasannya cuma satu, solidaritas. Konyol bukan? Ini bentuk solidaritas dengan mata tertutup. Sampai ada istilah, orang makassar "pa'bambangang" yang artinya cepat panas atau 'mudah terprovokasi'.

Pilihan itu?
Kembali ke pilihan Batam atau Makassar? Yes, saya memilih kembali ke Makassar. Saya ingat sebuah ayat di Al-Quran “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka ” QS 13:11

Saya bagian dari Makassar dan kalau saya berpikir untuk meninggalkan Makassar, mana mungkin ada orang dari kota lain yang mau datang memperbaiki Makassar. Meskipun saya tidak sejenius Einstein, tidak sekreatif Ridwan Kamil, saya tidak sesabar AA Gym, yang terpenting saya bisa berkontribusi untuk mengubah Makassar.


Related

personal 4862695731587699034

Posting Komentar

emo-but-icon

RECENT

POPULAR

COMMENT

INFO

RANDOM POST

item