Ketika Tuhan adalah Perempuan



Setidaknya dia ingin kembali ke tahun 1995. Kala dia adalah anak kecil yang tidak punya malu. Tiada sungkan memeluk, bahkan tidur di pangkuan. Saat dia bebas berlari, jatuh, dan menangis,
Di dunia hanya ada mimpi, cita-cita, dan lirihnya doa.

"Selamat pagi malu" sapanya pagi ini.
Setidaknya dia tidak ingin melewatkan tanggal istimewa di kalendernya dengan cara yang tidak istimewa. Dia mencoba mengingat-ingat lagi.

Kala itu, lengan kanan ibunya adalah guling istirahat yang hangat. Ibunya mengajarkan banyak hal. Mulai dari cara berdoa, cara meminta maaf, dan cara berterima kasih. Termasuk juga mengenalkan kehidupan dan kebaikan Sang Tuhan.

Sesampai di bayangnya, Tuhan adalah perempuan.
Karena Tuhan terwakilkan dengan kebaikan, dan Ibunya adalah sumber dari itu.

Hari ini, mau tidak mau, kehidupan memaksanya dewasa. Jarak, cita-cita, dan waktu memaksanya untuk berpisah. Sejauh apapun, bersembunyi dibalik langit yang berselimut doa ibunya adalah tempat paling aman. Setiap namanya yang terselip dalam doa adalah lampu kuning untuk tidak membuat ibunya kecewa.

Dewasa itu yang membuatnya akrab dengan malu. Bukankah 20 tahun yang lalu ibunya mengajarkan cara berterima kasih? Mungkin dia lupa. Lupa meletakkan gengsi, diatas kesederhanaan kata.

"Terima Kasih Ibu"
Tidak sesederhana kalimat itu, 'mengakui bahwa dia adalah aku' merupakan hal yang rumit.

Posting Komentar

emo-but-icon

RECENT

POPULAR

COMMENT

INFO

RANDOM POST

item